Selasa, 18 Oktober 2016

PAJAJARAN DAN GALUH PAKUAN



GALUH PAKUAN DAN PAJAJARAN SEBAGAI KERAJAN DI TANAH PASUNDAN
Diceritakan yang menjadi ratu di Negara Galuh ialah Prabu Wangi alias Niskala Wastu Kencana Berjaya sekitar tahun 1357-1461. Prabu wangi digantikan oleh sang  Pangeran sebagai anaknya Prabu Wangi yaitu Prabu dewa niskala pada tahun 1461-1468, dengan bergelar sebagai raja SILIWANGI ke satu dinamakan prabu Siliwangi kesatu karena menurut Bahasa sunda (Kusabab Prabu niskala teh nga gentos ramana anu jenengan Wangi, upami kitu Prabu Niskala teh tiasa disebut panyilih Prabu Wangi,tah kusabab panyilih disebut weh Prabu Silihwangi, akhirna kakocap kurahayat jadi Prabu Siliwangi kecap silih jadi kecap sili hurup H na leungit). Dalam bahasa Indonesia Kira-kira begini”Sebab Prabu Niskala menggantikan bapak nya yaitu Prabu Wangi dengan sebab itu Prabu Niskala bisa di sebut pengganti atau menggantikan Prabu  Wangi. Akhinya tenar dimasyarakat sebagai  pengganti Prabu Wangi yaitu dengan bahasa sunda panyilih Prabu Wangi (pengganti wangi- panyilih wangi)red, maka disebutlah Prabu SILIWANGI ke satu , karena menggantikan Prabu Wangi”.
Pada tahun 1468 Prabu Dewa Niskala atau PRABU SILIWANGI ke satu, digantikan oleh anaknya yang bernama  Prabu Jaya Dewata menjadi Prabu SILIWANGI ke 2, sampai pada tahun 1507, menurut sejarah Cirebon dikutip dari kitab  Purwaka Caruban Nagari 3* Prabu Jaya Dewata sejak kecil sudah menjadi raja di kerajaan kecil kerajaan Sindang Kasih sekarang Majalengka, pada waktu itu yang menjadi raja Galuh adalah kakeknya yaitu Prabu Niskala Wastu kencana alias Prabu Wangi sebelum Prabu SILIWANGI.
Pada suatu hari Jaya Dewata alias PRABU SILIWANGI ke2. Mendapat kabar bahwa di karawang ada sebuah pesatren yang menyebarkan Agama Islam, akhirnya sang prabu mendatangi pesantren tersebut, dengan tujuan hendak mencari tahu bagaiman keadan dipesantern tersebut, setelah sampai di Pesantren Prabu Jaya Dewata melihat santri wanita yang berparas cantik yaitu Subang Larang putrinya Raja Mangku Bumi dari kerajaan kecil yaitu kerajaan Singapura, sekarang Kertasinga. Dan singkat cerita Subanglarang dijadikan permeswari dan dikaruniai 3 anak:
1.   Pangeran Walang Sungsang,
2.   Ratu Rara Santang,
3.   Raja Sangara.
Karena anak-anaknya selalu dekat dengan ibunya Subanglarang maka tidak heran ketiga anaknya itu dididik dengan pengajaran Agama Islam.
Pada tahun 1441 Subanglarang meninggal/wafat, ketiga anaknya memohon pada sang Ayahanda agar mau masuk Agama Islam, Namun Prabu Siliwangi Jaya Dewata menolak dengan alasan tidak mau meninggalkan agama leluhurnya. Akhirnya Walang Sungsang pergi secara diam-diam meninggalkan keraton/Istana,dan pada  perjalanannya Pangeran Walangsungsang tidak mempunyai tujuan hingga sampailah dia kesuatu tempat di bukit gunung Mara sekarang CIAMIS, disitu dia bertemu dengan seorang biksu Budha dan ditikahkan dengan puteri biksu itu, kemudian Ratu Lara Santang menyusul dari Pakuan. Pangeran Walang Sungsan dengan isterinya juga Ratu Lara Santang  pergi mengembara disuruh oleh sang mertua harus menuju kedaerah utara dan tibalah disuatu Bukit Namanya Bukit Gunung Jati, disitulah mereka belajar ilmu Agama Islam kepada Syekh Nurjati. Di situ walang sungsang dan isterinya tinggal di rumah seorang Kuwu  yaitu Kuwu Gedeng Alang-alang sedangkan Ratu Lara santang tinggal di Rumah Syekh Nurjati, setelah kuwu Gedeng Alang-alang wafat Wlang sungsang disuruh menjadi kuwu menggantikan ki Gedeng, akhirnya Walang Sungsang menjadi Kuwu dengan memakai nama Cakrabuana isterina memakai nama Sri Mangana. Pada suatu ketika Walang Sungsang dan isterinya  juga Rara santang diutus oleh Syekh nurjati untuk memperdalam ilmu Agama ketanah suci Mekah sekaligus untuk menunaikan ibadah haji. Dimekah mereka ketemu dengan patih kerajaan mesir yang mana patih itu diutus oleh Raja mesir yang bernama Syarif Abdullah untuk mencari seorang perempuan yang wajahnya mirip dengan isteri raja almarhumah, karena Lara santang wajahnya mirip isteri raja yang meninggal maka dibawalah Mereka kehadapan raja mesir dan akhirnya Ratu Lara Santang menjadi Prameswari Raja Syarip Abdullah yaitu raja mesir, dari hasil pernikahannya dikaruniai  dua orang putra yaitu Kesatu Syarif Hidayatulloh dan yang kedua Syarip Nurulloh Raja Syarip Abdullah wafat waktu anak-anaknya masih kecil, pada umur 20 tahun Syarip hidayatulloh  mau di jadikan raja namun menolak karena ingin mencari ilmu ke tanah suci dan pada akhirnya menyiarkan Agama Islam, sedangkan kerajaan di serahkan kepada adiknya Syarip Nurulloh. Di mekah ketemu dengan seorang ‘Ulama yaitu Syekh Attaullohi Sajali dan menimba ilmu pada syekh Attaullohi,  dan meneruskan mencari ilmu nya ke Bagdad, di Bagdad beliau menimba ilmu Tashauf.
Dan setelah menimba Ilmu Agama,Syarip hidayatulloh pergi ke tanah Jawa, sebelum sampai ditanah Jawa singgah dulu di Gujarat dan mencari ilmu Agama lagi satu tahun dan singah lagi di Pasai sekarang Aceh juga mencari ilmu Agama lagi hingga dua tahun, dari Pasai pergi ke Banten dari Banten berjalan ketimur hingga samapai ke Cirebon dan menemui kuwu Cakra Buana Uwanya, dan disitulah dibikinkan rumah oleh syekh Nur Jati di Sembung Jati, hingga menjadi tenar dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Syarip Hidayatulloh tak mau berhenti terus menerus menyebarkan agama Islam Hingga keseluruh peloksok  tanah jawa  juga bukan pulo Jawa saja yang menjadi sasarannya tetapi hinnga ke daerah Sanghai atau Tiongkok daratan China. Hingga mendapat Istri seorang Puteri dari Raja tiongkok.
Syrip Hidayatulloh mempunyai banyak Isteri diantaranya :
1.   Nyai Ratu Kawung Anten mendapat dua anak yaitu: 1. Ratu Wanon, 2.Pangeran Sabakingkin alias Hasanudin yang menjadi Sultan Banten pertama.
2.   Nyai tepasan mendapat dua putera yaitu:1.Ratu Ayu yang menjadi isteri Faletehan, 2.Pangeran Pasarean yang nantinya menggantikan ayahandanya.
3.   Nyai Lara Bagdad mendapat dua putera yaitu: 1.Pangeran Jaya kelana, 2.Pangeran Brata Kelana(Gung anom).
4.   Nyai Babadan.
5.   Nyai Puteri Ong Tien.
6.   Nyai Mas Pakungwati (Padmi).

Penyebaran Islam di daerah Cirebon dan sekitar Galuh sangat pesat  apalagi setelah Cirebon memisahkan diri dari Galuh Pakuan, menjadi Negara yang mandiri yang dipimpin olleh Raja Pandita Syarip Hidayatulloh alias Sunan Gunung Jati .
Dengan semakin pesatnya penyebaran Agama Islam oleh Sunan Gunung Jati hingga menjadi kekhawatiran bagi Sang Kakek Prabu Siliwangi Ke 2, dan untuk mempertahankan Kepercayaannya memeluk Agama Hindu Prabu Siliwangi pada tahun1507berpindah kesebelah barat dan mendirikan Kerajaan baru yaitu PAJAJARAN tepatnya Bogor istnanya sekarang menjadi kebun Raya Bogor. Sedangkan di Galuh Pakuan diteruskan oleh Pangeran Surawisesa anak dari Nyai Ratu Kentring manik dan berkuasa dari tahun 1507-1521.
Pajajaran setelah berdiri cepat menjadi besar dibawah kepemimpinan Prabu Jaya Dewata, kekuasaanya  hampir keseluruh wilayah Priangan, kecuali pesisir utara dan derah Galuh. Untuk menangkis serangan Islam yang di pimpin oleh Cucunya sendiri.
 Pajajaran memanfaatkan kedatangan orang Portugis yang sebelumnya sudah berada di Malaka, dengan menjalin kerjasama perdagangan pada tahun 1512 raja sunda yaiyu Prabu Jaya Dewata mendatangi PORTUGIS di Malaka dan pada waktu Portugis dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque, dan dikukuhkan lagi padathun 1521 yang diwakili oleh puteranya Prabu Jaya Dewata yaitu Prabu seda yang menjadi Prabu Siliwangi ketiga, sementara Portugis kepeminpinannya sudah diganti oleh George d’albuquerque. Dan pada tahun 1523 Portugis datang ke Pajajaran dan membawa hadiah berupa tugu dari batu.
Diceritakan pada tahun 1521 Portugis  menyerang Pasai (Aceh)Raja putera yang bernama Fadilah khan Alias Faletehan pergi kemekah hendak meminta bantuan kepada Raja Mekah sekalian beribadah Haji, dari mekah ditus ke Demak untuk minta bantuan yang lebih dekat jaraknya, Demak saat itu sudah menjadi Negara Islam dan di pimpin oleh Sultan Trenggono, di Demak Faletehan diangkat mejadi panglima kesultanan Demak dan dinikahkan kepada adiknya Sultan Trenggono Yaitu Nyai Ratu Pulung.
Pada tahun1526 Faletehan diutus oleh Sultan Trenggono untuk menyerang Fortugis yang membantu Pajajaran yang berada di Banten, Faletehan berangkat ke Banten  dan membawa pasukan sebanyak 1864 orang, sebelum sampai di Banten bersinggah di Cirebon untuk menemui titah Sultan Trenggono agar menemui dulu Syarif  Hidayatulloh di Gunung Jati. Pada tahun itu 1526 Banten yang menjadi wilayah utama Pajajaran direbut oleh Pasukan Fatahilah yang dibantu oleh Hasanudin Putera Dari Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatulloh, dan Banten dijadikan Negeri yang Mandiri dan Hasanudin dijadikan Sultan pertama Banten. Setelah Banten direbut dan Rakyatnya masuk Agama Islam, selanjutnya Faletehan merebut Pelabuhan Pajajaran yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa. Faletehan pada waktu itu berhasil merebut Sunda kelapa dan semenjak itu Faletehan diangkat menjadi Bupati Sunda kelapa dan namanya di ganti menjanti Jayakarta. Faletehan sering disebut Raja Sunda kerena menjadi Bupati Jayakarta.
Nyebarnya Agama Islam tidak pernah berhenti bahkan terus mendesak ke wilayah Galuh Pakuan, Raja Galuh  yang paling dekat ke Cirebon di serang oleh Cirebon yang dipimpin oleh Adipati Kuningan, Putra Angkat Nyai Ratu Ong Tien Isteri Sunan Gunung Jati dari Tiongkok, dinamakan Kuningan karena waktu bayi ditukar dengan Bokor kuningan oleh-oleh dari Tiongkok.
Bayi yang diangkat anak oleh Puteri Ong Tien adala bayinya  Raja Luragung kemudian dibesarkan Oleh Sunan Gunung jati dan Nyai Ong Tien dan diberi nama Adipati Kuningan OLeh Sunan Gunung Jati, rakyat Raja Galuh semuanya masuk Islam.
Tahun 1529 Cirebon menyeranag  Kerajaan Talaga, dan wilayah nya masuk Kerajaan Cirebon dan sebagian besar Penduduknya masuk Islam, raja tetep sampai beberapa keturunan menganut Agama Hindu. Raja-raja Talaga 1. Batara Gunung Picung, 2. Sunan Cungkilak, 3. Sunan Benda, 4. Sunan Gamboh, 5.Penggang sang romiang,6.Prabu Damar Suci, 8.Ratu Watang Karuna, 9.Pucuk Umum( Rangga Manteri),(dan ada juga yang namanya pucuk Umum sebagai anak nya Munding Sari), 10 Aria Kikis (Sunan Wanapri), 11.Aria Wangsa Goparana,. Dari sekian banyak Raja hanya Aria Wangsa Goparana yang masuk Islam, karena ayahnya  Aria Kikis tidak setuju masuk Islam maka Aria Wangsa Goparana pergi meninggalkan Istana dan mendirikan Negara Islam di Sagara Herang.
Cirebon terus menyerang Kerajaan Besar Galuh Pakuan Tahun 1565 pada waktu itu Rajanya Bernama Nusia Mulya dan terus lari ke Rawa Lakbok dan seterusnya Ngahiang di Rawa Lakbok.
Di Barat Agama Islam Terus disebarkan oleh Sultan Hasanudin dan Sultan Hasanudin mulai membuat serangan serangan Pada Kakek dan pamannya di Pajajaran pada waktu ini Raja Pajajaran sudah diserahkan kepada  Prabu Seda atau Prabu Surya Kencana, anak bontot Prabu Jaya Dewata Prabu Jaya dewata setelah mendirikan pajajaran mempunyai banyak Nama Atau sebutan Karena banyak yang menyanjung, adapaun sebutan atau nama lain dari Prabu Jaya dewata ialah ; Prabu Purana, Sri Baduga Maha raja, Prabu Guru Dewa Prana, Ratu Haji di Pakuan Pajajaran ,Sri Sang Ratu Dewata, dan beliau sebagai Saka Pandawa Emban Bumi.
Prabu Seda Adalah Prabu Siliwangi Yang ketiga,  namun Pajajaran tetap Berjaya tidak mau menyerah apalagi masuk Agama Islam.
Sampai akhirnya Sultan Hasanudin Wafat dan di gantikan oleh anaknya yaitu Sultan Maulana Yusuf. Maulan Yusuf pun terus menyerang  Pajajaran namun Pajajaran terus Berjaya.
Setelah Raja Galuh dan Galuh Pakuan Runtuh Anak Cucu sang prabu yang tidak ikut Ngahiyang  Kerawa Lakbok menyusul saudara-saudara nya yang ada di Pajajaran yaitu  Prabu seda. Adapun yang menyusul kePajajaran diantaranya ialah Pucuk Umum.
Diserahkannya Kerajaan Pajajaran oleh Prabu Siliwangi II kepada Pabu Siliwangi III tidak ada yang tahu persis tahunnya , yang jelas antara Tahun 1523 sampai dengan Tahun 1533. Setelah kerajaan diserahkan kepada Prabu seda alias Prabu Siliwangi ke 3, Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi Ke 2 pergi bertapa untuk mendekatkan diri pada Sanghyang Maha kuasa, yang menjadi pertapaannya sebuah  adalah Padepokan milik Raja-raja Sunda, mulai Salaka Nagara Taruma Nagara Galuh Pakuan dan Pajajaran yang letaknya disekitar Bukit Gunung Nagara yang terletak di wewengkon atau wilayah
LEUWEUNG SANCANG atau Hutan Sancang, sekarang Desa Depok, tentang Bukit Gunung Nagara bisa baca pada SITUS GUNUNG NAGARA .
Sedangkan  Digaluh Pakuan Setelah ditinggalkan oleh Prabu Jaya dewata Diserahkan kepada Prabu Surawisesa diganti oleh Prabu Ratu Dewata, diganti lagi oleh Prabu Sang Mangabatan, diganti lagi oleh Ratu Nila Kendra alias Tohan Dimajaya, diganti lagi oleh Nusia Mulya, hingga runtuhnya Galuh Pakuan Pada tahun 1565.
Pada tahun 1579 Prabu Jaya Dewata Turun dari pertapaan dan menemui Sang Prabu Siliwangi ke 3, dan mengajak Ngahiyang karena malu kalau harus bersikeras terus menerus berperang dengan saudara atau kerabatnya sendiri, karena seperti kita ketahui bahwa Raja Pandita Syarif Hidayatulloh di Cirebon dan Sultan Hasanudin Sultan Maulana Yusuf itu adalah Cucu dan Buyut nya Prabu Siliwangi ke 2. Maka jelas bagi Prabu Siliwangi Ke 2 lebih baik menghindari peperangan dari pada harus saling berperang karena akan saling melukai sesama kerabat. Kemudian Prabu Siliwangi ke 3 menyetujuinya, sehinngga anak isteri dan para kerabat yang dekat berikut para pejabat kerajaan yang setia dibawanya pergi ngahiang Kecuali Ki Jongo dan Ki Jungju yang menolak karena merasa tidak yakin bisa ngahiyang dan masih mencintai dan memilih harta duniawi.
Ki Jongjo Dan Ki Jungju  Berdebat hebat dengan Kerabat kerajaan  yang akhirnya merasa tidak puas dengan perdebatan tersebut akhinya pergi menemui Sultan Maulana Yusuf di Banten. Sesampainya di banten Ki Jongjo dan Ki Jungju menawarkan bahwa dirinya sanggup mengalahkan Prabu Siliwangi asalkan di beri pasukan balatentara sebanyak 500 orang, Sultan menyetujuinya dan akhirnya pada malam hari Keraton atau Istana Pajajaran di serang oleh Pasukan Banten yang dipelopori oleh Ki Jongjo dan Ki Jungju, namun begitu masuk ke pintu gerbang yang ada hanya para prajurit sedangkan  Istana dan Prabu serta para pejabat setia serta isteri dan anak-naknya sudah hilang dari pandangan mata, Rupanya begitu Ki Jongjo dan Ki Jungju sedang mau memasuki pintu gerbang Prabu Siliwangi dan pengikutnya pergi ngahiang dan menyulap Istana menjadi kebun Raya Bogor hingga sekarang. Setelah Prabu Siliwangi Ngahiang Rahayatnya mnucapkan dua kalimat Syahadat masuk Agama Islam, namaun diantaranya ada yang tetap pada pendiriannya tidak mau Masuk Islam berlari menuju Ujung kulon daerah Baduy dan menurut cerita konon orang Baduy adalah keturunan orang-orang yang tidak mau takluk pada Sultan Banten dan mendirikan kampung Baduy hingga sekarang. Daerah Baduy Pada masa penjajahan belanda tidak  pernah didatangi bahkan baduy masih tetap kuat pada adat dan budayanya, adat budaya baduy adalah asli adat dan budaya orang pada jaman Pajajaran, apa bila anda ingin mengetahui seperti apa adat dan budaya orang Pajajaran dulu yaitu nenek moyang orang Sunda maka pergilah ke Baduy maka akan menyaksikan adat istiadat orang Baduy dijamin tidak banyak yang berubah karena Baduy tidak dijajah oleh manapun, bahkan Sultan Maulan Yusuf pun membiarkan orang-orang Baduy dan terus dibiarkan katanya biar asal jangan mengganggu pada Kerajaan Banten.
Pada kesimpulannya Pajajaran masih tetap ada  dan tidak pernah dikalahkan oleh musuh dan oleh siapapun, buktinya sekarang masih menghebus harum mewangi dan dikenang oleh Masyarakat Sunda bahkan Dunia. Wallohu alam kita serahkan pada Alloh yang maha mengetahui segalanya.
Sumber cerita diambil dari berbagai keterangan dari  arangtua-orang tua di berbagai tempat di tatar Sunda

Jumat, 08 April 2016

LEUWEUNG SANCANG


LEUWEUNG SANCANG
Kota Garut tempo dulu  dibagi menjadi tiga distrik 1. distrikGarut kota 2. Distrik limbangan 3, distrik kandang wesi.
Di kandang wesi memiliki hutan yang sangat luas dengan nama leuweung sancang, leuweung Sancang, pada saat itu kawasan leuweung sancang sangatlah luas sebelah barat hingga ke ranca buaya ,sebelah utara hingga gunung gelap dan tegal siawat-awat di kawasan pakenjeng, ketimur sampai ke cikaengan perbatasan tasik Malaya (sekarang). Leuweng sancang memiliki mitos yang sangat melegendaris di tatar sunda dengan kemunculan maung bodas dan lodaya sakti, maka hingga kini sancang dikenal memiliki macan jejadian/ (maung kajajaden).
Terlepas dari itu Sancang dikenal keseluruh nusantara bahkan kedunia sekalipun.Karena sejak jaman kerajaan salaka ngara dan Taruma nagara sancang yang memiliki  situs-gunung-nagara     sudah di jadikan tempat peristirahatan raja-raja dari kedua kerajaan tersebut.
Sancang sudah bayak dikenal berbagai kalangan namun tidak tahu mana-mana saja Sancang itu, orang tahu bahwa sancang ada sancang satu , sancang dua, tiga dan seterusnya. Namun secara detailnya masih banyak yang belum mengetahuinya. Sancang satu  mulai dari Ranca buaya sampai ke sungai Cikaso, Sancang dua mulai dari Sungai Cikaso sampai ke Sungai Cibaluk, Sancang tiga mulai dari Sunga Cibaluk sampai Ci balieur dan Cigandawesi, Sancang Empat mulai Ciganda wesi samapai Cipareang, Sancang lima muali cipareang samapi Cibako,Sancang  enam, tujuh delapan dan Sembilan mulai dari Cibako sampai ke Karang Gajah  dan Cikaengan.

Di setiap Sancang ada banyak situs makam makam kuno, yang paling  banyak menyimpan situs pemakaman di Sancang Utama atau Sancang  Satu yaitu SITUS GUNUNG NAGARA dan Makam Prabu Gesan Ulun di bukit Sayang heulang dan masih banyak yang saya tidak sebutkan di sini. Di Sancang dua terdapat situs  MAUNG BODAS & MUNDING BODAS , di Sancang tiga ada situs Makam Eyang Ghozali , di Sancang empat terdapat situs Eyang Salatim di sancang lima dan seterusnya  ada situs makam Pandita Rukmin , eyang rukman tara dan rukmantiri dan sebagainya.

Yang paling diburu oleh Peziarah adalah kayu kaboa  konon kalau orang yang ada bagian maka akan mendapatkan kayu Kaboa yang  dipercaya dengan khodam penjaga  sebangsa macan lodaya. Menurut cerita dari salah seorang penduduk setempat bahwa  siapa saja yang bersemedi hingga mendapat berkah maka akan ada seseorang manusia ghoib yang datang dan siap menjadi pembantu sipertapa tersebut, dan setelah memberinya beberapa petunjuk  si ghaib tersebut akan masuk ke salah satu  pohon Kaboa dan sipertapa tersebut mengambilnya dan di bawa pulang maka kayu itu akan bisa dipergunakan untuk mengundang orang ghaib tersebut ,dan orang gahaib atau khodam tersebut akan sering menjelma menjadi Seekor Harimau dengan sebutan Maung Sancang. Ini sekadar impormasi singkat dari penulis semoga bermanfaat.

Kamis, 07 April 2016

Masigit Sela dan makam Prabu Geusan Ulun, Santolo Sayang Heulang Cilaut Eureun


MASIGIT SELA.
Dilihat dari kejauhan memang tidak mirip sebuah masjid namun setelah kita menghampirinya lebih dekat lagi Nampak seperti paimbaran mesjid bahkan ada batu penyangga atap guha mirip bangunan  paimbaran tempat imam, maka gua yang terletak di bagian utara Pulo Santolo ini biasa disebut Masjid Batu. Tapi juga biasa disebut Masjid Sela, karena gua ini berada disela-sela batu dinding Pulo yang berlubang memenjang kira kira 100meter, namun yang bisa dipakai berteduh kala hujan turun hanya lebar kedalam  kurang lebih 3 meter. Tapi gua itu punya nama asli Gua Masigit Sela. Ruang di dalamnya mirip Paimbaran/ ruang imam sebuah mesjid, masjid yang dihiasi banyak stalaktit yang bermotif sangat Unique.
Terlepas dari anggapan gua itu sebuah masjid, gua yang sudah berumur ratusan tahun tersebut hingga kini terkenal dengan nama Gua Masigit Sela. Kini gua itu dijadikan salah satu objek wisata spiritual.
Pada hari-hari tertentu, misalnya Jumat Kliwon, Selasa Kliwon dan juga pada hari-hari besar Islam, gua itu banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah. Tujuan mereka jelas ngalap berkah dan menenangkan diri setelah dihadapkan pada ruwetnya permasalahan hidup. Biasanya, pengunjung mempunyai keinginan tertentu menginap selama beberapa hari di Gua Masigit Sela hingga mendapatkan suatu petunjuk yang menggembirakan berkaitan dengan keinginannya. Bila demikian, maka mereka akan memperpanjang lagi ngalap berkahnya, karena mereka merasa optimis suatu saat upayanya akan mendapatkan berkah dari yang Maha Kuasa, meski upayanya baru didapatkan pada hari-hari berikutnya.
Diakui salah seorang juru kunci Gua Masigit Sela, tidak semua pengunjung bisa langsung mendapatkan wangsit selama melaksanakan laku tirakatan di gua tersebut, meski sudah mencapai 40 hari. Namun dengan modal keyakinan permintaannya akan dikabulkan setelah mereka kembali ke kampung halamannya, mereka tetap nekad pulang dengan tangan hampa. Hal itu diakui sejumlah pengunjung yang kini telah meraih sukses usahanya.
Ngalap berkah di Gua Masigit Sela Pulo Santolo, diketahui hingga kini tidak ada tuntunannya yang baku. Pengunjung tetap bebas melakukan laku tirakatan sesuai dengan kemauannya, atau mengikuti suatu aturan tertentu juru kunci yang mereka tunjuk. Karena di Gua Masigit Sela tidak mengenal satu juru kunci.
Sehingga dalam proses ngalap berkah di Gua Masigit Sela terkadang terjadi suatu perpaduan antara yang mengandung unsur klenik dan agamis. Kendati demikian, akibat maraknya pengunjung yang mendatangi gua tersebut, maka di dalam gua tersebut banyak ditemui pedupan (suatu gundukan dari hasil bakar kemenyan). Salah satunya di sekitar pilar penyangga gua yang mirip paimbaran, disebelah timurnya ada jembatan sisa peninggalan jaman belanda yang menyambungkan Pulo Santolo dengan Pantai Sayang heulang, dibawahnya ada curugan air laut yang kembali lagi ke air sungai cilaut eureun,tempat yang sangat sakral dipercayai orang bahwa kalau mandi di air curugan itu akan bisa mengobati segala mcam penyakit lahir maupun bathin.Di Pantai Sayang heulang ada sebuah bukit, dibukit tersebut Terdapat Makam Seorang tokoh dari kerajaan Sumedang larang yaitu Prabu Geusan Ulun.
Konon Prabu Siliwangi Sebelum pergi ngaHyang kealam KaHyangan Beliau menitipkan/memberikan Mahkota kerajaan Pajajaran berikut sebagian Harta milik kerajaan. Setelah kepergian Prabu Siliwangi, Prabu Gesan Ulun tahu bahwa Prabu Siliwangi ngaHyang pergi membawa Istana berikut segala isinya di pindahakan keaalam kaHyangan konon  istana Pajajaran dibawa tilem atau ngHyang ke daerah selatan kabupaten Garut kesebuah kawasan Hutan Sancang/leuweung Sancang,maka Maka Prabu Gesan Ulun pun memilih pergi beristirahat menjadi pertapa di Masigit sela, dan konon Prabu Geusan ulun menimbun Harta dan mahkota serta perlengkapan kerajaan di Pulo Santolo itu. Karena sodong-sodong atau sela-sela batu itu dipakai tempat beribadah terutama melakukan ibadah sholat,dan sejak itulah sodong itu dinamakan Masigit Sela hingga sekarang.
Prabu Geusan Ulun hingga akhir hayatnya menetap di kawasan itu dan disemayamkan di bukit Sayang Heulang.
Makam Prabu Geusan Ulun oleh masyarakat sekitar dan para pengunjung Dijadikan sebuah tempat keramat yaitu tempat untuk mencari berkat dengan melakukan do’a/ permohonan terhadap Alloh Subhawahuwata’ala.

Selasa, 29 Maret 2016

UGA PRABU SILIWANGI



UGA/WANGSIT PRABU SILIWANGI
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!